AMBALAN
Yakni
suatu satuan pramuka penegak yang terdiri
dari beberapa satuan kecil
yang disebut sangga (terdiri dari 5-10 anak).
Ambalan
diberi kode nama pahlawan dan di pimpin seorang pradana. Ambalan terdiri dari 4
sangga. Sangga itu sendiri ada lima macam: sangga pencoba, perintis, pendobrak, penegas dan pelaksan.
MA Tarbiyatul Islamiyah
Pada hari senin 21 Oktober 2000, Kak
Rohmat dkk mencetuskan ambalan Patimura dan Cut Mutia sebagai ambalan dari pangkalan MA Tarbiyatul Islamiyah. Saat itu Pradana Putra Kak Rohmat
(Ngobongan-Tanjungsekar) dan Pradana Putri Kak Prapti (Njodag-Pelemgede),
dengan jumlah anggota 21 anak. Ka Gudep Kak Sunarno dan Kamabigusnya M. Ansori
S.Ag. serta pembinanya Kak Sulistyo Wijayanto (Kak Tyo) bersama Kak Purwanto.
Arti
Lambang
Ambalan
Patimura dan Cut Mutia
K Patimura »»»
a) bentuk
perisai :
pramuka sebagai pelindung
b) tulisan
PATIMURA :
pahlawan sekaligus tokoh agama islam yang sesuai dengan karaketer TARIS
c) garis putus-putus
persaudaraan
d) warna
dasar abu-abu :
kedewasaan PATIMURA
e) stupa
hitam :
identitas Jawa Tengah
f)
obor :
semangat yang membara
g) tiga jilatan
api :
trisatya
h) padi dan
kapas :
murah sandang pangan
i)
kitab :
sumber ajaran agama
j)
tunas kelapa :
lambang
Gerpram
k) merah
putih :
pramuka di bawah naungan merah putih
l)
21 10 2000
21 : tgl pencetusan
10 : bln pencetusan
2000 : tahun pencetusan
m) XI.1816.1487
XI. Kwarda Jateng
18 Kwarcab
Pati
16. Kwaran Pucakwangi
1487
gudep PRAPTI (Pa)
K Cut
mutia»»»
a)
bentuk lingkaran :
persatuan
b)
garis putus-putus
persaudaraan
c)
tulisan CUT MUTIA :
pahlawan kemerdekaan yang sesuai karakter TARIS
d)
warna dasar kuning :
kedewasaan CUT
MUTIA
e)
bunga tripoil :
janji sci (tri satya)
f)
bintang :
ketuhanan
g)
tali ikat bawah:
kasih sayang
seorang penegak PRAPTI
h)
10 jilatan api :
Dasadharma
i)
merah putih :
pramuka di bawah naungan merah putih
j)
21 10 2000
21 : tgl pencetusan
10 : bln pencetusan
2000 : tahun pencetusan
k)
XI.1816.1488
XI. Kwarda Jateng
18 Kwarcab
Pati
16. Kwaran Pucakwangi
1488 gudep PRAPTI (Pi)
SEJARAH
PATIMURA
DAN CUT MUTIA
K
Patimura »»»
Pahlawan
Nasional dari Maluku Kapitan Pattimura (1783 -1817)
Lahir
:
Saparua, Maluku, 8 Juni 1783
Wafat
:
Ambon, 16 Desember 1817
Makam
:
Ambon
Kapitan Pattimura yang bernama asli Kapitan
Ahmad `Pattimura’ Lussy. Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi di zaman ini dia lebih
dikenal dengan nama Thomas Mattulessy yang
identik Kristen.Inilah Salah satu contoh
deislamisasi dan penghianatan kaum minoritas
atas sejarah pejuang Muslim di Maluku.
Beliau lahir di Negeri Haria, Saparua, Maluku tahun
1783.
Pada
tahun 1798, wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda
berganti dikuasai oleh pasukan Inggris.
Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy
sempat masuk dinas militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan Mayor.
Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda
kembali berkuasa di Maluku karena terikat pada Konvensi London (13 Agustus 1814), yaitu perjanjian yang
mewajibkan Inggris untuk mengembalikan wilayah
Nusantara kepada Belanda, termasuk Maluku. Begitu pemerintahan Belanda kembali
berkuasa, rakyat Maluku langsung mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan
sering terjadi, seperti bekerja rodi,
pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan
lain sebagainya. Tidak tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat
pun sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri. Perlawanan yang
awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan cepat merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.
Di
Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat
untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura.
Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan
untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda
mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda
meminta bantuan dari pasukan yang
ada di Jakarta.Pada tanggal 14 Mei 1817, seluruh rakyat Saparua bersumpah setia dan mangangkat
Thomas Mattulessi sebagai Kapitan Pattimura untuk melakukan pemberontakan terhadap
Belanda. Pada tanggal 16 Mei 1817,
Pattimura berhasil merebut Benteng Duurstede dan menewaskan Residen Van den Berg. Perjuangan Kapitan Pattimura dibantu oleh Paulus
Tiahahu dari Nusa Laut, Anthony Reebook wakilnya di Saparua, dan Kapitan
Philip Latumahina.
Akibat pengkhianatan Raja
Booi dan politik devide et empera, akhirnya pada tanggal 11 November 1817 Pattimura bersama beberapa anggota pasukannya berhasil ditangkap oleh Belanda di sebuah rumah di Siri Sori. Benteng Duurstede
pun kembali direbut oleh Belanda. Beliau dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia
dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu
ditolaknya.
Akhirnya pada tanggal 16 Desember 1817,
Kapitan Pattimura, Anthony Reebook, Philip Latumahina, dan Said Parintah
dihukum mati dengan cara digantung di depan Bentang Nieuw Victoria di Ambon.
Sementara itu, Paulus Tiahahu dihukum tembak
mati di depan rakyatnya di Nusa Laut.
Satu hari sebelum eksekusi hukuman gantung dilaksanakan,
Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura menunjukkan kesetian perjuangannya dengan tetap
menolak bujukan itu.
Untuk menghormati jasa-jasa Kapitan Pattimura berdasarkan
Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK//1973, beliau dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah.
Dari perjuangannya dia meninggalkan pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini
agar sekali-kali jangan pernah menjual
kehormatan diri, keluarga, terutama bangsa dan Negara ini.
K
Cut mutia »»»
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Cut Nyak Meutia (1870-1910)
Lahir :
Lahir :
Keureuto, Pirak, Aceh Utara(1870)
Meninggal :
Pasai, Aceh Utara, 24 Oktober 1910
Suami:
- Suami pertama :
Teuku Muhammad (Teuku Cik Tunong) meninggal Mei 1905
- Suami kedua :
Pang Nangru (Pang Nanggroe) meninggal September 1910 di
Paya Cicem
Anak :
Raja Sabil
Perjuangan:
Perang gerilya di daerah Pasai
Pameo yang mengatakan wanita sebagai insan
lemah dan harus selalu dilindungi tidak selamanya benar. Itu
dibuktikan oleh Cut Nyak Meutia, wanita asal Nangroe Aceh
Darussalam, yang terus berjuang melawan
Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru di tubuhnya.
Wanita kelahiran Pirak, Matang kuli, Aceh Utara, tahun
1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik
darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial.
Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus,
ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan.
Ketika
sudah beranjak dewasa, dia menikah dengan Teuku
Muhammad, seorang pejuang yang lebih
terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong.
Walaupun ketika masih kecil ia sudah ditunangkan dengan seorang pria bernama Teuku Syam Syarif, tetapi ia memilih menikah
dengan Teuku Muhammad, pria yang sangat dicintainya.
Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap
memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu
melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan
mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga
pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.
Sudah
banyak kerugian pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun
materi diakibatkan perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak
keluarga Meutia sendiri, Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan
diri. Namun Cut Nyak Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan
memaksa tersebut.
Bersama
suaminya, tanpa kenal takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi
Teuku Cik Tunong, suaminya. Suatu hari di bulan Mei
tahun 1905, Teuku Cik Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia
kemudian dijatuhi hukuman tembak.
Setelah kematian Teuku Cik Tunong, Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru, pria yang
ditunjuk dan dipesan suami pertamanya sebelum menjalani hukuman tembak. Pang
Nangru adalah teman akrab dan kepercayaan suami pertamanya, Teuku Cik Tunong.
Bersama
Pang Nangru, Cut Meutia meneruskan perjuangan
dengan lebih dahsyat. Menghadapi
keadaan itu, pasukan Belanda semakin takut terhadap Srikandi dari Tanah Rencong itu.
Namun,
pada sebuah pertempuran, di Paya Cicem pada
bulan September tahun 1910, Pang Nangru juga
tewas di tangan pasukan Belanda. Sementara Cut Nyak Meutia dengan 45 pasukan yang tersisa berhasil meloloskan diri.
Bersama pasukannya yang hanya memiliki 13 pucuk senjata, Cut Meutia melanjutkan
perang secara bergerilya. Raja Sabil, putra Cut
Meutia yang baru berumur 11 tahun,
selalu mengikuti ibunya pergi berjuang.
Pada
tahun 1903, Sultan Mahmud Daud Syah terpaksa
menyerah kepada Belanda. Peristiwa itu disusul dengan menyerahnya
raja-raja lain, seperti pasukan yang dipimpin
oleh Panglima Polim. Melihat kenyataan itu, Cut Meutia tidak sedikitpun
mengendurkan nyalinya dalam berjuang.
Rahasia
tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat
pada tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil
ditemukan. Belanda langsung mengerahkan pasukannya menyerbu tempat
persembunyian itu.
Dengan
hanya bersenjata sebilah rencong dan pedang, ia
maju paling depan untuk memimpin pasukannya. Bagai singa terluka, Cut
Meutia menyerang, menebas dan menerjang lawan tanpa rasa gentar. Banyak pasukan
Belanda yang tewas. Di tengah pertempuran, Dia pun gugur setelah sebuah peluru mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai
dadanya. Darah mengucur deras. Akhirnya, Cut Meutia gugur di medan
pertempuran sebagai pejuang dari tanah rencong.
Cut
Meutia dengan gagah berani membuktikan kecintaannya kepada nusa dan bangsanya.
Ia membela dan memperjuangkan kedaulatan bangsa sampai titik darah penghabisan.
Itulah yang dilakukan Cut Meutia. Atas jasa-jasa yang tak ternilai harganya,
Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Nasional yang
disahkan dengan SK Presiden RI No.107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Ia
pun dijuluki sebagai Mujahidah dari Tanah
Rencong.
Moral
:
Janganlah cepat menyerah dalam perjuangan apa pun. Sepanjang masih ada kesempatan
gunakan untuk meraih hasil sebaik-baiknya. Semoga cita-cita dan semangat juang
Cut Meutia bisa dicontoh oleh generasi penerus bangsa.